Penghilang lelah itu bernama Sekolah Marjinal

 

Apakah kamu pernah memiliki suatu hal, yang dengan hal itu kamu melupakan segala lelah mu?

Walau badan mu letih hingga keringat menembus serat-serat pakaian yang kau gunakan, walau perut mu lapar (karena ternyata kau belum sempat makan siang), walau otak mu juga lelah karena seharian berpikir, semuanya bisa sirna saat kau menemukan satu hal yang istimewa ini.

Jika kamu belum punya

Aku sudah punya,

Namanya Sekolah Marjinal

----

 Hari itu hari Selasa, aku dan relawan lain menyebutnya Selasa Ceria.

Selepas pulang dari kampus dengan membawa segala lelah, aku bersemangat menelusuri macetnya Jogja sore hari untuk lekas sampai di sebuah tempat,  yang ku tambatkan hati ku disana.

Ada kurang lebih 10 anak yang menyambut.

Jangan bayangkan mereka datang dengan kondisi pakaian bagus, sudah mandi, wangi, dan rambut tersisir rapih.

Tidak. Kau tidak akan menemukannya disini.

Mereka adalah anak yang istimewa. Datang apa adanya, bisa jadi tidak memakai alas kaki, bisa jadi dengan pakaian lusuh, dan tidak perlu kau tanya apakah mereka sudah mandi apa belum.

 Mereka apa adanya. Tak peduli apa yang dunia katakan tentang mereka.

Mereka ada.

---

“Hari ini kita buat prakarya gambar warna warni dari daun ya adek adek. Sebelumnya kita kenalan dulu nih sama bentuk-bentuk daun. Ada daun yang menyirip, menjari, melengkung, dan sejajar” Ucapku pada mereka sembari menunjukan contoh daun yang ku ambil dari taman Perpustakaan Pusat tadi siang.

Ku amati satu persatu cara mereka memberikan warna pada gambar.

Ada yang bersemangat, ada yang manja, ada yang kesal, dan ada yang berantem karena berebut pewarna. Semanis itu ya mereka, ucapku lirih.                                           Ekspresi apapun yang mereka berikan, selalu nampak manis, walau kadang membuat kakak relawan yang lain geleng-geleng kepala.

 Satu letih yang tadi ku bawa di badanku, telah hilang.

-----

Menjelang maghrib, ketika semua prakarya sudah selesai, saatnya menunaikan ibadah.

“Kak lampunya mati kak. Gimana kak sholatnya Kak”

Celoteh salah seorang anak.

“Ya udah kita sholat sama ngaji di masjid aja ya”

Jawab seorang Kakak relawan

 

Ternyata masjid yang dituju tak sedekat yang ku kira. Kami berjalan 10 menit untuk bisa sampai disana. Menyusuri jalan raya, lalu masuk gang kecil, melewati kubangan air, gelap-gelapan tanpa lampu karena semua sedang padam listrik.

Jangan tanya bagaimana rasanya berjalan bersama anak-anak yang sepanjang jalan bertingkah jahil dan berceloteh tak karuan.  Iya, jangan tanya bagaimana rasanya, karena kamu harus merasakannya sendiri.

Kami pun mengambil air wudhu dan melakukan ibadah bersama.

Bisa jadi, anak -anak itu tidak memahami atau bahkan belum hafal bacaan sholat. Tapi melihat bagaimana kemauan dan semangat mereka untuk sholat (walau sambil bercanda dengan kawannya), menjadi sebuah hal yang akan membuatmu merasa adem.

Lapar yang tadi singgah, terlupakan ketika melihat bagaimana mereka begitu ceria dalam beribadah.

Selepas ibadah, anak-anak dengan kemanjaan mereka enggan diajak mengaji dan terus saja bermain. Bukan anak-anak namanya jika mudah diatur.

Sebentar,

Jika sedari tadi ku lihat wajah anak-anak. Kali ini aku mengamati wajah para kakak relawan. Yang bisa jadi jauh lebih letih, jauh lebih lapar, namun masih bisa mengeluarkan energi untuk bersabar dan selalu memasang senyum kepada anak-anak itu.

Sehingga pada akhirnya anak-anak luluh dan mau duduk di pangkuan kakak relawan untuk mengaji.

Jangan kau lihat bagaimana relawan relawan ini menghadapi anak-anak.

Jangan, nanti kau jatuh cinta

----

Selepas ibadah dan ngaji, kami kembali ke sekolah sekaligus mengantar mereka pulang.

Melalui jalan yang sama, dengan gelap yang lebih gelap dari saat berangkat.

Namun gelap tidak pernah berarti gelap jika aku bersama mereka.

“Makasih ya udah datang ke sekolah. Besok jangan lupa datang lagi”

Sapa relawan kepada setiap anak yang menyalami tangan kakaknya satu per satu.

 

Sebentar.

Kemana perginya lelah, lapar, dan letih yang tadi aku bawa kesini.

Apakah terjatuh di jalan?

Oh tentu tidak. Rupanya aku telah menukarnya. Menukarnya dengan tawa, canda, semangat yang dibawa anak-anak. Menukarnya dengan ketulusan yang ditawarkan oleh kakak-kakak relawan.

Sehingga yang ku bawa pulang malam itu adalah kebahagiaan, tidak ada yang lain.

Terima kasih Sekolah Marjinal

Akhirnya aku menemukan satu hal, yang dengan itu aku melupakan segala lelah ku.

Tempat ini, adalah salah satu alasan ku mencintai Jogja. 

 

                                                                                    

                                                                                    Fadhilah Aunillah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman mendapatkan Beasiswa IMPACT UGM

Kiat Cepat Menyelesaikan Skripsi/Tesis/Tugas Akhir

Pindah jurusan intinya :)